BAHASA DAN MASYARAKAT
DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK 2
DEWI DJAFAR ( 1551040017)
MUH.RIDHO S. (1551041024)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Alhamdulilah karena atas berkat rahmat dan
ridho-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Sosiolinguistik yang berjudul Bahasa dan Masyarakat. Disamping itu, kami
mengucapkan banyak terimah kasih untuk dosen pembimbing juga teman-teman yang
telah berpastisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Dengan selesainya penulisan makalah ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi semua, khususnya bagi kami. Kami menyadari
bahwasanya penulisan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Jdi, silahkan
ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bias diperbaiki.
Makassar, 25 september 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
pengantar ………………………………………………………………..i
Daftar
isi………………………………………………………………………ii
Bab 1 Pendahuluan……………………………………………………………
1.1 Latar
belakang…………………………………………………………….
Bab II
pembahasa …………………………………………………………….
2.1 Bahasa dan tutur………………………………………………………
2.2 Verbal repertoar…………………………………………………….....
2.3 Masyarakat tutur……………………………………………………...
2.4 Peristiwa tutur dan tindak tutur…………………………………….…
Bab III Penutup……………………………………………………………....
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………
3.2 Saran………………………………………………………………..…
3.3 Daftar
pustaka……………………………………………………...…
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
belakang
Sosiolinguistik ialah studi atau
pembahasan dari bahasa sehubungan dengan
penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat (Nababan, 1993 : 2).
Sosiolinguistik mengkaji bahasa, masyarakat dan hubungan bahasa dengan masyarakat.
Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang
hanya dimiliki manusia. Di dalam kehidupannya bermasyarakat, sebenarnya
manusia dapat juga menggunakan alat komunikasi lain, selain bahasa. Namun,
tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna,
dibandingkan dengan alat-alat komunikasi lain termasuk juga alat komunikasi
yang digunakan para hewan.
Bahasa di jumpai dimana-mana. Bahasa memegang
peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini harus benar-benar, khususnya para
guru dan guru pada bidang studi pada umumnyaa (Tarigan, 2009 : 2). Kehidupan
manusia normal tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Bahasa menyerap masuk ke
dalam pemikiran-pemikiran kita, menjembatani hubungan kita dengan orang lain.
Perangkat pengetahuan manusia yang demikian banyak juga disimpan dan
disebarluaskan melalui bahasa. Hadirnya bahasa dalam kehidupan manusia demikian
pentingnya. Bahasa juga salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang
membedakan dari makluk lain.
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak hanya
dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik
umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi
didalam masyarakat manusia (Chaer dan Agustina, 2004:3). Salah satunya yaitu
ilmu fisika. Bahasa juga sangat berhubungan erat dengan ilmu lainnya. Sehingga
pada penyajian ini di arahkan dalam upaya memahami bahasa. Maka jelaslah, bahwa sosiolinguistik
tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan
atau aspek-aspek kemasyarakatan.
Sosiolinguistik mengkaji bahasa dimasyarakat yang berfungsi
sebagai alat komunikasi. Untuk memperdalam dan memahami tentang ilmu
sosiolinguistik tentang bahasa dan masyarakat inilah, kita perlu mempelajari tentang
pandangan sosiolinguistik tentang bahasa dan dan hubungan bahasa dengan bahasa
lainnya.
BAB II
BAHASA DAN MASYARAKAT
2.1 Bahasa
dan Tutur
Ferdinand
de Saussure membedakan antara yang disebut langage,
langue, dan parole. Ketiga
istilah ini berasal dari bahasa Prancis, dalam bahasa Indonesia lazim
dipadankan dengan istilah bahasa. Padahal, ketiganya mempunyai pengertian yang
sangat berbeda meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa.
Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebutkan
bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Istilah langage dapat dipadankan dengan kata bahasa, misalnya manusia
mempunyai bahasa, binatang tidak. Jadi, istilah bahasa dalam kalimat tersebut sepadan dengan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan
mengacu pada bahasa umumnya sebagai alat komunikasi manusia. Istilah kedua
adalah langue, digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi
sesamanya. Sementara itu, parole
bersifat konkret karena ia merupakan pelaksaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para
anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole dapat dipadankan dengan kata
ujaran.
Langage dan langue terkait dengan
sistem
yang ada pada pikiran
manusia sebagai pengguna bahasa. Jadi, bersifat abstrak. Langue adalah bagian sosial dari langage. Langage bersifat
homogen sedangkan langue bersifat
heterogen. Konsep langue dapat
dipadankan dengan “competence”, sedangkan langage
dengan “performance”. Kedua istilah terakhir ini berasal dari Noam Chomsky,
Bapak aliran tata bahasa transformasi generatif.
Sebagai langage bahasa itu bersifat
universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia
pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Akan
tetapi, sebagai langue bahasa itu,
meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat
tertentu. Satu masyarakat tertentu memang agak sukar dirumuskan, tetapi adanya
ciri saling mengerti barangkali bisa dipakai sebagai batasan adanya suatu
bahasa. Misalnya penduduk yang berada di Bulukumba dengan yang berada di
Takalar dan yang di Jeneponto,masih berada dalam satu bahasa dan satu
masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.
Begitu pun penduduk yang ada di Soppeng dengan Sidrap masih berada dalam satu
bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti dengan alat
verbanya.
Adanya saling mengerti antara
penduduk yang berada di Bulukumba dengan yang berada di Jeneponto karena adanya
kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan
semantik) di antara parole-parole
yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang berada di Soppeng dan
yang berada di Sidrap bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan
sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik)
di antara parole-parole yang mereka
gunakan. Akan tetapi, di antara penduduk Soppeng (tentu dengan bahasa Bugis)
dengan Bulukumba (dengan bahasa Makassar) tidak ada saling mengerti karena
tidak mempunyai kesamaan sistem dan subsistem.
Parole
yang digunakan penduduk Soppeng dan Sidrap berbeda tetapi mereka saling
mengerti karena terdapatnya kesamaan sistem dan subsistem. Parole yang digunakan di tempat-tempat tersebut disebut dialek.
Setiap orang mempunyai kekhasan
tersendiri-sendiri dalam bahasa (berbicara dan menulis) kekhasan ini dapat
mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, tulisan dan
unsur-unsur bahasa lainnya. Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek. Jadi, kalau 10000 orang, maka
akan ada 10000 idiolek.
Dari uraian tersebut secara
linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek dan setiap dialek terdiri
dari sejumlah idiolek. Namun, perlu juga diketahui bahwa dua buah dialek yang
secara linguistik adalah sebuah bahasa karena anggota dari kedua dialek
tersebut saling mengerti, tetapi secara politis bisadisebut sebagai dua buah
nahasa yang berbeda. Misalnya bahasa Indonesia dan Bahsa Malaysia hampir sama,
tetapi secara politis bahasa yang digunakan di Malaysia bahasa Malaysia dan
bahasa yang digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.
2.2 Verbal Repertoar
Repertoar bahasa atau verbal
repertoar adalah semua bahasa beserta ragam-ragam bahasa yang dimiliki atau
dikuasai seorang penutur. Misalnya melalui hasil pendidikan atau pergaulannya dengan penutur
bahasa di luar lingkungannya, seseorang menguasai bahasa ibunya dan bahasa
indonesia, selain itu, dia menguasai pula satu bahasa daerah lain atau lebih,
juga menguasai bahasa asing, bahasa Inggris atau bahasa lainnya.
Jika dikelompokkan, verbal repertoar
sebenarnya ada dua macam yakni yang dimiliki setiap penutur secara individual
(verbal repertoar individu) dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara
keseluruhan (verbal revertoar sosial). Verbal repertoar individu mengacu pada
alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk
memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Verbal
repertoar sosial mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam
masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan
konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan
bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam
masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro, sedangkan
kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri
linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau
sosiolinguistik makro (Appel, 1976:22). Kedua jenis sosiolinguistik makro dan
mikro ini mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipisahkan karena
keduanya saling bergantung. Maksudnya, verbal repertoar setiap penutur
ditentukan oleh masyarakat tempat dia berada; sedangkan verbal repertoar suatu
masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoar semua penutur di dalam
masyarakat itu.
2.3
Masyarakat Tutur
Secara
sosiologis orang selalu memandang satu komunitas sebagai satu organisasi
sosial. Organisasi sosial selalu suatu proses pembentukan kelompok-kelompok dan
pengembangan pola-pola asosiasi dan perilaku tetap yang kita sebut sebagai
lembaga sosial (Harton & Hunt, 1984). Kedua ahli sosiologi dari Amerika
Serikat ini mendefinisikan kelompok sebagai setiap kumpulan orang yang memiliki
kesadaran bersama akan keanggoataan dan saling berinteraksi.
Istilah masyarakat tutur sering pula
disebut masyarakat bahasa atau komunitas bahasa. Kalau suatu masyarakat
mempunyai verbal repertoar yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian
yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam
masyarakat itu,maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu adalah sebuah
masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang
menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma
yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa.
Untuk dapat disebut satu masyarakat
tutur mesti ada perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa
menggunakan tutur yang sama (Djoko Kentjoo, 1982). Dengan konsep adanya
perasaan menggunakan tutur yang sama ini, maka dua buah dialek yang secara
linguistik merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua bahasa dari dua
masyarakat tutur yang berbeda. Fishman (1976:28) mendefinisikan bahwa
“masyarakat tutur adalah suatu suatu masyarakat yang anggota-anggotanya
setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai
dengan penggunaannya.”
Sementara itu, Bloomfield (1933:29)
membatasi dengan “sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama.”
Batasan ini dianggap terlalu sempit oleh masyarakat modern karena banyak orang
yang menguasai lebih dari satu ragam bahasa, dan di dalam masyarakat itu
terdapat lebih dari satu bahasa. Sebaliknya, definisi Labov (1972:158) yang
mengatakan “ sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa”
dianggap terlalu luas dan terbuka.
Masyarakat tutur yang besar dan
beragam memperoleh verbal repertoar dari pengalaman atau dari adanya interaksi
verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga diperoleh secara
referensial yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik. Dalam hal tertentu
saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat
tutur tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan. Contoh, setiap hari
ratusan tenaga kerja yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai bahasa
daerah yang berlainan, bekerja di pabrik-pabrik di Makassar, dan mereka sesama
rekan sekerjanya menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi. Jadi,
meskipun mereka berbahasa ibu yang berbeda, mereka adalah pendukung masyarakat
tutur bahasa Indonesia.
Kalau kita melihat kasus masyarakat
tutur bahasa Indonesia di atas, maka dapat dikatakan bahwa sisa terjadi suatu
masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa
yang sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi
atau karena integrasi siimbolisdengan tetap mengakui kemampuan komuniasi
penuturnya tanpa megingat jumlah bahasa atauvariasi bahasa yang digunakan
(Gumperz, 1976:37-53). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kompleksnya suatu
masyarakat tutur ditentukan oelh banyaknya pengalaman dan sikap para penutur
tempat variasi itu berada. Lalu verbal repertoar seluruh penuturnya sebagai
anggota masyarakat itu (Fishman, 1972:32).
Dilihat dari sempit dan luasnya
repertoanya, masyarakat tutur dapat dibedakan atas dua macam, yakni:
(1)
masyarakat tutur yang repertoar pemekaiannya lebih luas dan
(2)
masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan
aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang
lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
Kedua jenis masyarakat tutur ini
terdapat, baik dalam masyarakat yang terkacil atau tradisional maupun besar
atau modern. Meskipun demikian, masyarakat modern mempunyai kecendrungan
memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai
veriasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih
tertutup dan cenderung menggunakan variasi dari beberapa bahasa yang berlainan.
Penyebab kecenderungan itu adalah faktor sosial dan kultural.
Komunitas bahasa adalah suatu konsep
sosiolinguistik yang pernah dibahas oleh Hudson (1980) Savillae Troike (1982)
dan teristimewa Brauthwaite (1984). Menurut bloomfield (1933) komunitas bahasa
dibentuk mereka (kumpulan orang) yang secara bersama-sama memiliki
aturan-aturan bahasa yang sama. Labov lebih menekankan pada kriteria
norma-norma yang dianut bersama dari ciri-ciri bahasa yang digunakan bersama.
Fishman (1972) memandang suatu komunitas bahasa sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya
bersama-sama menganut aturan-aturan fungsional yang sama.
Dari uraian di atas diketahui bahwa terdapat tiga pendekatan
dalam memahami konsep komunitas bahasa. Pertama, dipandang dari sudut
bentuk-bentuk bahasa yang dimiliki bersama; kedua, dari segi kaidah-kaidah yang
mengatur sistem bahasa yang dimiliki bersama; ketiga, dari sudut pandang konsep
yang dianut bersama.
Bahasalah yang menjadikan suatu
masyarakat menjadi sentripetal, artinya bahasa cenderung mengabsorbsi
masyarakat menjadi satu kesatuankesatuan masyarakat karena menganut norma-norma
linguistik yang sama ini kita namai komuntas bahasa.
2.4 Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur
Berdasarkan pendapat ahli ini dapat disimpulkan
bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orangatau individu yang memiliki
kesamaan atau menggunakan sistem bahasa yang sama berdasarkan norma-norma bahasa yang sama. Dengan
kata lain inilah pembeda dan menjadi ciri khas sebuah masyarakat satu dengan yang lainnya.Berhubungan
dengan itu, sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Indonesia memiliki banyak suku
bangsa sehingga otomatis masyarakat tutur dan masyarakat kita juga sangat
beragam, dari keberagaman inilah
menimbulkan berbagai macam dialek dan bahasa yang berbeda. Setiap daerah memiliki bahasanya masing- masing.
Kenyataan bahwa adanya perbedaan dalam berkomunikasi tidak akan menjadi halangan dalam berinteraksi
sejauh penututur bahasa tersebut berasal dari masyarakat tutur yang sama. Akan tetapi, tidak
dengan hal interaksi antar kelompok yang sudah memilki bahasa dan budaya masing- masing, dimana
para pentur yang berinteraksi disini tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa
daerah masing- masing. Untuk mengatasi hal ini maka muncul bahasa pemersatu
yaitu Bahasa Indonesia. Inti dari keberhasilan dalam berkomunikasi adalah ketika
para penuturnya dapat memahami satu sama lain
maksud yang ingin disampaikan. Mereka harus mampu memahami situasi dan kondisi lawan tutur dan keadaan yang
melatar
belakangi terjadinya
interaksi ini. Oleh karena itu, yang
menjadi patokan disini adalah peran peristiwa tutur (speech event)
yangmendahului adanya tindak tutur (speech act) terjadi dalam masyarakat.
1.
Peristiwa Tutur
Setiap komunikasi masyarakat tutur dalam
menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, dalam setiap
proses komunikasi berbahasa terjadilah apa yang disebut peristiwa tutur.
Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran
atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan suatu pokok tuturan di dalam
waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer 1995:61).Di dalam setiap peristiwa
interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor (unsur) yang mengambil peranan
dalam peristiwa itu. Faktor-faktor itu seperti: penutur (speaker), lawan
bicara (hearer, receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting),
suasana bicara (situationscene) dan sebagainya. Dalam pemakaian bahasanya,
setiap penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, dimana, mengenai
masalah apa dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka tempat bicara akan
menentukan cara pemakaian bahasa penutur; demikian pula pokok pembicaraan dan
situasi bicara akan memberikan warna pula terhadap pembicaraan yangsedang
berlangsung.Dell Hymes,(1972) seorang pakar sosiolinguistik, mengatakan bahwa
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang diakronimkan menjadi
SPEAKING, yakni:
Setting and scene, yaitu komponen yang berkenaan
dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Umpamanya percakapan yang
terjadi dikantin kantor pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang terjadi
diruang meeting ketika rapat berlangsung.
Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam
percakapan seperti pembicara, lawan bicara dan pendengar. Umpamanya, antara
siswa dengan gurunya. Percakapan siswa dan gurunya ini tentu berbeda kalau
partisipannya bukan siswa dan guru, melainkan antara siswa dan siswa.
Ends, yaitu mengacu pada maksud dan hasil
percakapan. Contohnya, seorang pimpinan bertujuan memberikan perintah
(instruksi) secara jelas kepada bawahannya tetapi hasil yang didapat
malahsebaliknya, pegawainya tidak menuruti perintah atasannya dengan baik dan
benar.
Act Sequences, mengacu pada hal yang menunjuk pada
bentuk dan isi percakapan. Dengan katalain suatu peristiwa dimana seorang
pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicara.Misalnya dalam kalimat : dia
berkata dalam hati “ mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik”. Perkataan
mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik” pada kalimat adalah bentuk percakapan.
Key, yaitu mengacu pada cara atau semangat dalam
melaksanakan percakapan. Misalnya, pelajaran linguistik dapat diberikan dengan
cara yang santai, tetapi dapat juga dengan semangatyang menyala-nya.
Instrumentalities, yaitu merujuk pada jalur
percakapan atau alat menyampaikan pendapat. Sepertiapakah secara lisan atau
bukan.
Norms of interaction and interpretation, yaitu
merujuk pada norma perilaku percakapan yang patutditaati.
Genres, yaitu yang merujuk pada kategori atau ragam
bahasa yang digunakan. Jenis kegiatandiskusi yang mempunyai sifat-sifat lain
dari jenis kegiatan lain.Dari yang dikemukakan Hymes itu dapat kita lihat
betapa kompleksnya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri
dalam kehidupan sehari-hari. Delapan unsur diatas dapatdijadikan untuk
mendeteksi kontek situasi yang sedang dipakai oleh lawan tutur guna
mengetahui maksud dan tujuan darinya.
2.
Tindak Tutur
Untuk menentukan pemahaman dalam komunikasi perlu
diketahui hubungan antara bahasa dan konteksnya. Artinya, untuk mengetahui atau
memahami makna yang dimaksudkan oleh peneliti atau penulis, tidak hanya dengan
memahami makna yang dimaksud atau kalimat yangdigunakan, tetapi dituntut untuk
mengambil pengetahuan dan kesimpulan tentang apa yangdikatakan atau ditulis
berdasarkan pemakaian konteks yang ada. Sehingga hal-hal yang berkenaandengan
ini disebut dengan konteks situasi yang melatarbelakangi tindak tutur (speech
act) dalam berkomunikasiharus mengkaji konteks dan tuturan, panutur dan mitra
tutur juga harus memiliki latar belakang pengetahuan yang sesuai dengan apa
yang ada pada tuturan.Kemudian Searle (1975: 59-82) mengembangkanteori tindak
tutur ini menjadi 5 bentuk yaitu;
1.Representative/asertif,
yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apayang diujarkan
2.Direktif/impositif,
yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan
tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak
tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannyadiartikan sebagai evaluasi
tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
3.Komisif,
yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa
yangdisebutkan di dalam tuturannya.5.Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak
tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb)
yang baru.
Contoh:
“Bagaimana
kalau kita…kita kawin!”
Tindak
tutur di atas termasuk ke dalam beberapa kategorisekaligus yaitu : tindak tutur
perlokusi karena digunakan untuk membujuk mitra tutur agar mau diajak kawin direktif
karena mitra tutur diharapkan melakukan tindakan yang disebutkan di dalamtuturan
itu (kawin dengan penutur) komisif karena mengikat penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalamtuturannya (kawin dengan mitra tutur) deklarasi
karena menciptakan status/keadaan yang baru (perkawinan)tindak tutur
taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’ tidak digunakan
secarakonvensional untuk menanyakan sesuatu, melainkan untuk mengajak mitra
tutur melakukan sesuatu yang disebutkan dalam tindak tutur.
Kemudian dalam tindak tutur ini juga menyinggung
istilah Implikatur percakapan mengacukepada jenis “kesepakatan bersama”antara
penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan
harus saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itusendiri tidak terdapat
pada masing-masing ujaran. Artinya, makna keterkaitan itu tidak diungkapkan
secara harafiah pada ujaran itu.Secara jelasnya, Grice dalam Leech (1983: 16)
mengemukakan bahwa percakapan yangterjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi
oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama.Kerja sama yang terjalin
dalam komunikasi ini terwujud dalam empat maksim, yaitu
(1)
maksim kuantitas, memberi informasi sesuai yang diminta;
(2)
maksim kualitas, menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup
buktikebenarannya;
(3)
maksim relasi, memberi sumbangan informasi yang relevan;
(4)
maksim cara, menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari
ketaksaan,mengungkap-kan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan.
Keempat konsep yang terdapat di masyarakat tutur
minangkanau itu memiliki makna yangdalam yaitu masayarakat yang menjunjung
tinggi kesopansantunan terhadap sesama anggotamasyarakatnya berdasarkan usia
dan posisinya di masyarakat. Sehingga aturan tersebutdiaplikasikan dalam
melakukan tindak tutur. Setiap orang mempercayai dan mentaati
normakesopansantunan ini ketika berinteraaksi antar anggotanya.
Ini sangat sejalan dengan pernyataan Gumperz
(1978:16) inilah yang disebut social rules. Social rulesatau aturan- aturan sosial
adalah pengikat seseorang dalam bertindak tutur dan menjadiacuan ketika
beradaptasi dengan lingkungan dimana tuturan harus sesuai dengan niat/
tujuan,tempat, dan hubungan identitas antar penutur. Aturan- aturan social ini
diperoleh melalui prosessosialisasi dalam masyarakat yang kemudian dipelajari
secara natural dan inilah yang disebutkemampuan komunikatif. Setiap manusia
memiliki kompetensi bahasa dalam pikirannya yangsecara tidak lansung terbentuk
oleh social budaya dimana dia tumbuh dan berkembang. Dengankata lain aturan
sosial sebagai parameter yang menuntun keberterimaan dalam prilaku
komunikasi.KesimpulanSecara normal, seorang individu tidak hanya berhubungan
dengan individu lain dalammasyarakat tuturnya, sebaliknya dia juga berhubungan
dengan orang lain pada masyaarakat tutur yang berbeda pula. Ini kemudian
menyebabkan munculnya variasi bahasa dan aktifitas bahasakerena didukung oleh
latar belakang situasi yang berbeda. Penggabungan penutur- penutur dari latar
belakang yang berbeda dan saling berinteraksi akan menciptakan sebuah
komunitasmasyarakat baru yang memilki norma dan aturannya sendiri pula.Untuk
itu, guna menilik lebih jauh sebuah komunitas masyarakat tutur, seseorang
harus melihat budaya, aturan, dan kepercayaan yang diyakini bersama dalam
masyarakat itu. Hal tersebutsangat berbeda dengan komunitas lain tergantung
dimana komunitas itu berada. Setiap komunitas memiliki identitasnya masing-
masing. Adanya pengaruh variasi sosial dalam konteks berkomunikasi menyebabkan
penyusunan strategi yang berbeda oleh penutur bahasa untuk menyampaikan
informasi pada lawan tuturnya. Prilaku interaksi setiap penutur berbeda
satudengan yang lainnya, karena setiap penutur memiliki budaya masing-masing
sehingga tindak tutur yang keluar adalah refleksi dari mana seseorang itu
berasal. Fishman (1968) dan Gumperz(1978:37-53) mengatakan, masyarakat modern
mempunyai kecenderungan masyarakat tutur yanglebih terbuka dan cenderung tutur
yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang
sama; sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan
cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahasa adalah ciri khas yang
dimiliki manusia yang membedakan dengan makluk lain. Bahasa juga yang
menjembatani hubungan antar masyarakat. Sehingga bahasa sangat dekat sekali
dengan masyarakat dalam kehidupan masyarakat. Bahasa mengambil peran penting
dalam kehidupan masyarakat. Ciri-ciri bahasa-pun beragam yaitu bahasa sebagai
sistem, bahasa sebagai lambang, bahasa bersifat arbiter, bahasa bersifat
produktif, bahasa bersifat dinamis, bahasa bersifat bersifat manusiawi, dan
lain-lain.
pada hakikatnya bahasa merupakan suatu alat yang terdiri dari susunan
kata-kata memiliki makna yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan
interaksi ataupun komunikasi. Karena bahasa tidak lepas dari kehidupan manusia.
Fungsi bahasa bisa kita lihat dari
segi penutur, dari segi pendengar, dari segi kontak antara penutur dan
pendengar, dari segi topik ujaran, dari segi kode yang digunakan dan dilihat
dari segi amanat. Adapun bahasa juga berhubungan dengan disiplin ilmu lainnya. Hal itu dikarenakan bahasa
merupakan bagian yang sangat erat dan dekat dengan kehidupan manusia.
3.2 SARAN
Setiap individu harus
menutur atau berbicara dengan menggunakan bahasa yang benar, sopan, bijaksana
dan memiliki etika dalam berbahasa, apalagi saat berada di kalangan masyarakat.
Dan hendaklah bagi penutur bahasa harus bisa menyesuaikan bahasanya ketika
berada di suatu tempat, baik di lingkungan formal maupun di lingkungan non
formal.
DAFTAR PUSTAKA
Saleh Muhammad & Mahmudah. 2006 Sosiolinguistik. Badan penerbit UNM. Makassar
Sumber
:https://id.scribd.com/doc/97896807/Masyarakat-Tutur-Dan-Tindak-Tutur