BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Bahasa adalah dasar atau (symbol) yang sudah mempunyai arti
dan mempunyai konvensi sendiri karena bahasa merupakan lembaga kemasyarakatan.
Dengan demikian, sastra terikat arti bahasa dan konvensi bahasa. Meskipun
demikian, bahasa itu disesuaikan dengan konvensi sastra sebab sastra juga
merupakan lembaga masyarakat yang
mempunyai konvensi sendiri. Dipandang dari konvensi bahasa, konvensi
sastra itu merupakan konvensi tambahan, yaitu konvensi tambahan disamping dan
diluar konvensi bahasa. Jadi dalam sastra ada konvensi bahasa yang merupakan
konvensi di luar sastra bahasa ada konvensi sastra sendiri yang disebut
konvensi tambahan oleh Preminger (1974 :981). Konvensi tambahan dalam sastra diantaranya
konvensi bahasa kiasan, persajakan, pembagian bait, persajakan, bahkan juga
enjambement (perloncatan baris) dan tipografi ( susunan tulisan).
Diantara konvensi-konvensi tambahan itu adalah konvensi
adalah konvensi bahasa kiasan (symbolic extrapolation) (Preminger,1974 :981)
merupakan konvensi tambahan puisi itu menyatakan pengertian-pengertian atau
hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal dan berarti yang
lain. Dengan demikian itu, bahasa puisi nemberikan
makna lain daripada bahasa biasa.Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu menurut Riffaterre (1978:2)
disebabkan oleh tiga hal: penggantian arti (displacing), penyimpangan arti
(distorting), dan penciptaan arti (creating of meaning)
1.2 Rumusan
masalah
Oleh sebab itu, maka dalam makalah ini akan dibahas
mengenai:
1.
Bagaimanakah
penggantian arti dalam puisi?
2.
Bagaimanakah
penyimpangan arti dalam puisi?
3.
Bagaimana
penciptaan arti dalam puisi?
1.3 Tujuan
Dalam penulisan makalah ini
bertujuan agar pembaca mampu mengetahui
:
1.
Penggantian
arti dalam puisi
2.
Penyimpangan
arti dalam puisi
3.
Penciptaan
arti dalam puisi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ketidaklangsungan
Ekspresi Puisi
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 2009: 210)
ketidaklangsungan pernyataan puisi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of
meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
2.1.1
Penggantian Arti
Pada
umunya kata-kata kiasan mengganti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan
metomini Riffaterre (dalam Pradopo, 2009: 212). Dalam penggantian arti ini
suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya).
Misalnya dalam sajak Chairil ini.
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan
melati
Harum rambutmu mangalun bergelut
senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mangalir luka
ntara kita mati datang tidak
membela…..
Dihitam
matamu kembang mawar dan melati: mawar dan melati adalah metafora dalam baris
ini, berarti yang lain: sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi, dalam
mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang
menggairahkan dan murni seperti keindahan bunga mawar (yang merah) dan melati
(putih) yang mekar. Metafora itu bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu seharga
dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama, Altenbernd (dalam Pradopo, 2009:
212). Secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan seperti perbandingan,
personifikasi, sinekdoki, dan metonimi itu bisa disebut saja dengan metafora
meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan yang lain, mempunyai
sifat sendiri. Metafora itu melhat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda
lain.
Dalam bait
kedua baris pertama “sepi menyanyi” adalah personafikasi, dalam keadaan yang
mesra itu tiba-tiba terasa sepi: “sepilah yang menyanyi” karena mereka berdua
tidak berkata-kata, suasana begitu khusyuk seperti waktu malam untuk mendoa
tiba.Maka dalam keadaan diam itu maka jiwa si akulah yang beriak seperti air
kolam kena angin. Dalam baris ke-3 dan
ke- 4 “dan dalam dadaku memerdu lagu / menarik menari seluruh aku”. Kata
lagu dan menari mengiaskan kegembiraan si aku karena bersanding (melihat)
kekasihnya yang menggairahkan,yang bersandar tari warna pelangi,yaitu dalam
keadaan yang sangat menyenangkan.
Dalam bait
ketiga baris pertama :” Hidup dari hidupku, pintu terbuka,”Kalau kekasih masih
mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya.” Selama kau darah
mengalir dari luka”ini berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa sakit
dan samapi kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah : tidak
bercerai. Semuanya itu merupakan sajak putih “, yaitu pernyataan hati si
penyair (yaitu sajak yang diucapkan dengan tulus ikhlas : dengan “putih”
2.1.2
Penyimpangan Arti
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 209: 213) penyimpangan
terjadi bila dalam sajak ada abiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
2.1.2.1
Ambiguitas
Dalam
puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan
banyak tafsir atau ambigu. Sebuah contoh sajak Sutardji CalzoumBachri.
TAPI
aku bawakan bunga padamu
aku bawakan bunga padamu
tapi
kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi
kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi
kau bilang Cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi
kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi
kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi
kau bilang hamper
ku bawakan arwahku padamu
tapi
kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
Dengan
ambiguitas seperti itu puisi memberI kesempatan kepada pembaca untuk memberikan
arti sesuai dengan asosiasinya. Dengan demikian, setiap kali sajak ini dibaca
selalu memberikan arti baru. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Julia
Kristeva (tokoh semiotic terkenal) (Preminger dkk, 1974: 982) bahwa dalam puisi
arti tidak terletak “di balik” penanda (tanda bahasa: kata), seperti sesuatu
yang “dipikirkan” oleh pengarang, melainkan tanda itu (kata-kata itu)
menjanjikan sebuah arti (arti-arti) yang harus diusahakan diproduksi oleh
pembaca.
2.1.2.2
Kontradiksi
Dalam
sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara
berlawanan atau kebalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang
keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir.
Sering juga membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap
sesuatu yang menyedihkan. Dalam puisi Indonesia, penyair Subagio Sastrowardojo
sering menulis ironi, misalnya yang terkenal “Afrika Selatan”, yang lain,
“Bulan Ruwah”, “Katechisasi”, “Nyayian Ladang”.
NYAYIAN
LADANG
Kau akan
cukup punya istirah
Di hari
siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani,
jangan menangis
Kau akan
cukup punya sandang
Buat
nikah, jangan menangis.
Kau akan
cukup punya pangan
Buat si
ujang, setelah selesai pergi kondangan.
Pak tani,
jangan menangis.
Kau akan
cukup punya lading
Buat
sawah. Setelah selesai mendirikan kandang.
Pak tani,
jangan menangis.(Daerah Perbatasan, 1970: 19).
Dalam
sajak tersebut si penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba
kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana daN sengsara. Seolah
segala-galanya sudah cukup bagi pak tani: akan cukup istirah, cukup punya kerja
di sawah, cukup sandang, punya sandang setelah lunas sandang, cukup punya
pangan sesudah kondangan (kenduri)!, cukup punya ladang buat sawah.
Kehidupan
petani sesungguhnya sangat sederhana, dan sengsara, semua serba: akan! Pak tani
jangan menangis−itu sesungguhnya malah: Pak tani harus menangis dalam keadaan
yang menderita itu, dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, hanya punya
makan pun sehabis pergi kondangan, dan sawahnya hanya lading, dalam arti tak cukup
baik untuk menanam padi.
2.1.2.3
Nonsense
Nonsense
merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistic tidak mempunyai art sebab
tidak terdapat dalam kosakata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih
(sepisaupi, sepisaupa) menjadi bentuk baru, pengulangan suku kata dalam satu
kata: tekekehkekeh-kehkehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu,
menimbulkan arti dua segi,
menimbulkan
suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Misalnya sajak-sajak Sutardji
Calzoum Bachri anyak mengandung nonsense demikian itu. Misalnya dalam sajak
“pot” (1981: 30): potapa potitu potkaukah potaku?, dalam “Herman”: tak bisa
pegang di tangan takbisatakbisatakbisa…., dalam “Kakekkakek & Bocahbocah”:
dan bocah-bocah tertawa terkekehkekehkehkehkeh. Dalam sajak “Sepisaupi” (1981:
87) sebagai berikut.
SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyian
Sutardji
menggabungkan kata sepi dan pisau dan sapa menjadi sepisau, sepisaupi, dan
sepisaupa, sepisapanya, maka sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di
situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga terjadi makna sepi seperti pisau
yang menusuk. Juga, sepi digabungkan dengan pikul, menjdi sepikul dosa: rasanya
dosa itu betapa berat dan sepi mencekam. Dalam sajak terkandung makna: dasa itu
menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau dan membuat sepi terasing.
2.1.3
Penciptaan Arti
Terjadi
penciptaan arti (Riffaterre, 1978: 2) bila ruang teks (spasi teks) berlaku
sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dar hal-hal
ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistic tidak ada artinya, misalnya
simitri, rima, enjebement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik)
diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Dalam puisi sering
terdapat keseimbangan (simitri) berupa persejajaran arti antara bait-bait atau
antara baris-baris dalam bait.
Homologues
(persamaan posisi) itu misalnya tampa dalam sajak pantun atau yang semacam
pantun. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti
kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang
diciptakan oleh ulang bunyi dan parlelisme. Misalnya bait sajak Rendra ini.
Elang yang
gugur tergeletak
Elang yang
tergugur terebah
Satu
harapku pada anak
Ingatkan
pulang pabila lelah
Dalam bait sajak itu ada persejajaran bentuk menimbulkan
persejajaran arti: bahwa bagaimanapun hebatnya elang, sekali-kali ia gugur
tergeletak dan terebah, begitu juga si anak akan lelah juga dan ngatlah akan
pulang. Di bawah ini sajak Sutardji (1981: 25) yang penuh persejajaran bentuk
dan arti. Oleh ulang yang berturut-turut terjadilah orkestrasi (bunyi masak)
dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Berdasarkan materi yang sudah diulas pada bab II maka secara
garis besar dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1. Dalam penggantian arti ini suatu kata
(kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya).
2. penyimpangan terjadi bila dalam
sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
3. bila ruang teks (spasi teks) berlaku
sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dar hal-hal
ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistic tidak ada artinya, misalnya
simitri, rima, enjebement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik)
diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues).
3.2 Sebaiknya kita memahami tentang
Teori dan Apresiasi Puisi, pemahaman bahan ajar ini akan membantu kita dalam
menentukan strategi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan pendidikan sehingga
akan tercapai hasil belajar yang optimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Lestari,dewi.
“22 september 2016” https://letarikuinakola.wordpress.com/2015/10/06/makalah-ketidaklangsungan-ekspresi-puisi/
Pradopo,
Rachmad Djoko.2014.”Pengkajian Puisi”.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
titanium flat irons - Titanium Arts
BalasHapusA great titanium exhaust way for beginners to become titanium legs an expert with the is toaks titanium a metal frame that contains titanium septum jewelry the core of titanium titanium quartz dioxide.